Ninik mamak di Minangkabau

Dilihat kehidupan keseharian dikota-kota Minang, seorang kemanakan jatuhnya, dengan logat bahasa Minang bercampur Jawa memanggil saudara laki-laki dari ibunnya dengan panggilan “om”, kasus ini banyak ditemukan, tampak ada yang berinisiatif meluruskan. Perlu diketahu istilah “om” beda dengan panggilan mamak, walaupun secara garisnya keturunan sama, dan istilah panggilan “om “ datangnya dari daerah antah berantah, sedangkan mamak merupakan istilah pangilan adat istiadat Minang yang dipegang teguh. Mamak adalah saudara laki-laki ibu. 


Berdasarkan kekerabatan matrilineal di Minangkabau memiliki peran sangat luas, sesuai dengan filosofinya. 

Kaluak paku kacang balimbiang,
daun bakuang lenggang-lenggangkan,
anak dipangku kamanakan dibimbiang,
urang kampuang dipatenggangkan.

Artinya, mamak berkewajiban menghidupi anaknya dan membimbing kemenakan dalam bidang adat, dan memberi bantuan pada masyarakat di segala bidang seperti bidang agama, ekonomi, pemerintahan, sosial dan lainya. 
Selanjutnya satu ungkapan lagi filosofi yang menegaskan karateristik mamak adalah, 
mahukum adia, bakato bana,
manimbang samo barek, maukua samo panjang,
nan babarih nan bapahek, nan baukua nan dikabuang,
tibo di mato indak dipicingkan,
tibo di paruik indak dikampihaan,
tibo di dado indak dibusuangkan

Setelah itu, seorang mamak juga menjadi tempat meminta nasehat bagi kemenakan dan orang kampung. Kapai tampek batanyo, ka pulang tampek babarito. Di samping itu, mamak sebagai penyelesai berbagai masalah dan sebagai pengambil kebijaksanaan seperti filosofi, indak ado kusuik nan ndak salasai, indak ado karuah nan indak janiah, kusik bulu paruah nan manyalasaikan, kusuik banang dicari ujuang jo pangka, kusuik rambuik dacari sekek jo minyak, kusuik sarang tampuo api manyalasaikan, kusuik nan kamanyalasaikan, kuruah nan kamanjaniahkan. Artinya, seorang mamak mampu menyelesaikan semua permasalahaan yang dihadapi, baik masalah ringan dan masalah berat yang dihadapi oleh sanak kemanakannya. Saking besarnya peran mamak terhadap kemenakan untuk perubahan Minangkabu maka perlu mendudukan bagaimana mencari pemimpin bernilai mamak dalam koridor kaedah-kaedah adat istiadat yang memperkuat fungsi mamak ditengah kemenakan dan pemerintahaan yang hari ini tidak semua orang paham. Kepemimpinan mamak di Minangkabau secara kekuasaan adat dan pemerintah memiliki peran penting melaksanakan tatanan konstitusi adat istiadat dan lainya untuk sanak kemanakan dalam mengarungi kehidupan. Sesuai dengan filosofi pemimpin di Minang adalah “urang nan diamba gadang, nan dianjung tinggi, kusuik nan kamanyalasaian, karuah nan kamanjaniah, takalok nan kamanjagoan, lupo maingekan, panjang nan kamangarek, singkek nan kama uleh.

Keberadan sosok penguasa di Minang secara totalitas dahulunya dipegang oleh mamak atau penghulu/ datuk selaku pucuak adat, beliaulah yang menjalankan roda pelayanan sosial, ritual adat istiadat, dan lainya terhadap sanak kamanakan dan masyarakat. 

Namun di zaman sekarang kewenangan mamak atau penghulu/datuk sebahagian besar sudah diambil oleh konstitusi negara yang alur kewenangan diberikan pada Gubernur dan Bupati/Waki Kota. Maka mamak akhirnya perlu menampilkan diri untuk mengambil kewenangan tersebut sebegitu strategisnya dalam setiap pergantian kepemimpinan di Sumatera Barat maupun Kabupaten/ Kota, serta masyarakat perlu diberikan pencerdasan dan wawasan yang cukup untuk menentukan pilihan dalam proses Pilkada tersebut sampai lahirnya pemimpin sabana pemimpin yang berjiwa seorang mamak. Sosok penguasa yang mengelola Ranah Minang harus memiliki kreteria mamak minang minimal diataranya, sosok figur putra/putri yang berasal dari keturunan bundo kandung rumah gadang, serta masyarakat harus mengetahui sosok jerami, diantaranya apa sukunya, siapa penghulunya, dimana pusako tingginya, dimana suraunyo serta dimana pandan pakuburan kaumnya. Orang tersebut menjadi pemimpin harus berpengalaman mengelola tatanan pemerintah dan sistim sosial adat istiadat dengan kepribadian yang mendapatkan tempat di hati masyarakat sebagai figur unggul dan mampu. filosofi Minangkabau dikenal dengan alah taraso makan tangannyo. Disamping itu secara sosial budaya keminangan harus tahu dengan prinsip nan ampek. Orang yang harus memahami norma-norma adat istiadat yang berlaku ditengah masyarakat. Sehingga, sosok calon pemimpin harus paham betul dengan apa makna dan aplikasi kato malerang, kato manurun, kato mandaki, kato mandata, dan mandi di baruh-baruah, bakato di bawah-bawah, paliharo badan agar orang tidak binaso. Alun takilek lah takalan, ikan takile di aie alah tahu jantan jo batinyo. Ini menjadi satu penilai khusus, demikian prinsip yang ditanamka nenek moyang dahulunya, artinya seorang pemimpin harus memiliki rasa empati dengan situasi dan kondisi yang dihadapi masyarakat. Sehingga apa yang menjadi keinginan dan harapan masyarakat mampu dia wujudkan dan salurkan dalam bentuk kebijakan dan tindakan nyata nantinya. 


penulis : Y. Wempi

0 comments:

Post a Comment