Pewarisan Harta di Minangkabau

Sistem pewarisan merupakan salah satu hukum yang jelas sekali disebutkan aturannya dalam agama islam, dimana salah satu prinsipnya adalah bagian anak laki-laki 2 kali bagian anak perempuan.
sedangkan kedudukan harta pusako tinggi/ harta milik kaum di minangkabau diwariskan ke kemenakan yang diwariskan kebawah menurut jalur keibuan/ matrilineal.
Hal ini kadang masih menjadi perdebatan oleh alim ulama di minangkabau tentang kedudukan harta pusako tinggi, ada yang menganggap subhat dan sebagian ada yang menganggap mubah.


Status dan keberadaan harta pusako tinggi di sumatera barat sudah dikaji mendalam dalam seminar adat di Batusangkar pada tahun 1968 yang dihadiri oleh pakar-pakar hukum dan ulama, antara lain :
- Buya Hamka
- Prof. Mister Hazairin

Dari seminar tersebut disepakati bahwa harta pusako tinggi hukumnya halal dan harta pusako tinggi dianggap sebagai harta musabalah dan bukan harta subhat.
Musabalah artinya harta sabil yaitu harta yang kepemilikannya secara kolektif yang diminangkabau menjadi milik kaum.

Buya Hamka melihat harta pusaka dalam bentuk yang sudah terpisah dari harta pencarian. Beliau berpendapat bahwa harta pusaka itu sama keadaannya dengan harta wakaf atau harta musabalah yang pernah diperlakukan oleh  Umar bin Kattab atas harta yang didapatnya di Khaybar yang telah dibekukan tasarrufnya dan hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Penyamaan harta pusaka dengan harta  wakaf tersebut walaupun  masih ada perbedaannya, adalah untuk menyatakan bahwa harta tersebut tidak dapat diwariskan. Karena tidak dapat diwariskan, maka  terhindarlah harta tersebut dari kelompok hata yang harus diwariskan menurut hukum Faraid; artinya tidak salah kalau padanya tidak berlaku hukum Faraid. Pendapat beliau ini di ikuti oleh ulama lain di antaranya Syekh Sulaiman ar Rasuli. (DR Amir Syarifuddin Pelaksanaan Hukum Pewarisan Islam  Dalam Adat Minangkabau  278)

Kemudian  Buya Hamka berpendapat tentang harta pusaka sebagai berikut : 
  • Yang pertama "Bahwa Islam masuk ke Minangkabau tidak mengganggu susunan adat Minangkabau dengan pusaka tinggi. Begitu hebat perperangan Paderi, hendak merubah daki-daki adat jahiliyah di Minangkabau, namun Haji Miskin, Haji A. Rachman Piobang, Tuanku Lintau, tidaklah menyinggung atau ingin  merombak susunan harta pusaka tinggi itu. 
  • Yang kedua : "Tetapi  Ayah saya DR. Syekh Abdulkarim Amrullah Berfatwa bahwa  harta pusaka tinggi adalah sebagai waqaf juga, atau sebagai harta musaballah yang pernah dilakukan Umar bin Khatab pada hartanya sendiri di Khaibar, boleh diambil isinya tetapi tidak boleh di Tasharruf kan tanahnya. Beliau mengemukan kaidah usul yang terkenal yaitu; Al Adatu Muhak Kamatu, wal 'Urfu  Qa-Dhin Artinya Adat adalah diperkokok, dan Uruf (tradisi) adalah berlaku". (IDAM hlm 103)
  • Yang ke tiga : Satu hal yang tidak disinggung-singgung, sebab telah  begitu keadaan yang telah didapati sejak semula, yaitu harta pusaka yang turun menurut jalan keibuan. Adat dan Syarak di Minangkabau bukanlah seperti air dengan minyak, melainkan berpadu satu, sebagai air dengan minyak dalam susu. Sebab Islam bukanlah tempel-tempelan dalam  adat Minangkabau, tetapi  satu susunan Islam yang dibuat menurut pandangan hidup orang Minangkabau. (Hamka, Ayahku hlm. 9)
  • Yang ke empat : "Pusaka Tinggi" inilah dijual tidak dimakan bali di gadai  tidak dimakan sando (sandra). "Inilah Tiang  Agung Minangkabau" selama ini. Jarang kejadian pusako tinggi menjadi pusako rendah, entah kalau adat tidak berdiri lagi pada suku yang menguasainya (Hamka, dalam Naim, 1968:29)
Ijma ulama merupakan salah satu sandaran hukum dalam islam sesudah Alqur'an dan Hadist.
Sebagai umat islam kita juga harus mengetahui dan memahami bahwa harta yang diwariskan menurut garis keturunan ibu bapak adalah harta pribadi/ hasil pencaharian kedua orang tua.
Kedudukan harta musabalah, status kepemilikan dari harta pusako tinggi adalah berada pada pemilik awal dan yang berhak memindahkan status kepemilikan hanyalah pemilik awal tersebut.
sehingga bisa disimpulkan keberadaan harta pusako tinggi hanyalah sebagai amanah bagi anak kemenakan di ranah minang, yang hanya sebagai hak pakai dan bukan hak milik. karena itu statusnya tidak boleh diganggu gugat lagi karena sudah menjadi keputusan masyarakat minangkabau
Wallahu A'lam Bishawab

Sumber :
- cimbuak.net
- anak-anak minangkabau FP

0 comments:

Post a Comment