Pergeseran peran ninik mamak di minangkabau

Peran Mamak dan Ayah Secara Tradisional di Minangkabau
Masyarakat Minangkabau merupakan etnis yang menganut sistem kekerabatan matrilineal, yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari pihak ibu. 

Menurut pola ideal, berdasarkan sistem kekerabatan matrilineal, di Minangkabau hubungan antara mamak (saudara lali-laki ibu) dan kemenakan (anak dari saudara perempuan) adalah hubungan yang saling mengikat.

Mamak berkewajiban untuk mendidik kemenakannya sampai si kemenakan menjadi “orang”, dan untuk itu kemenakan dikehendaki untuk mematuhi segala nasihat dan arahan yang dilakukan oleh mamaknya.

Ninik mamak merupakan salah satu unsur dalam pemerintahan nagari menurut pola tradisional. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang sistem pemerintahan terendah yang mulai berlaku di Sumatra Barat tahun 1983 berdasarkan Perda Nomor 13 Tahun 1983 menyebabkan sistem pemerintahan nagari digantikan dengan sistem pemerintahan desa dan kelurahan.

Dampak dari aturan tersebut adalah berkurangnya peran ninik mamak dalam kehidupan masyarakat nagari. Fungsi ninik mamak telah digantikan oleh Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) buatan Pemerintah Orde Baru. Tumbangnya Orde Baru dan lahirnya Era Reformasi tahun 1998 menimbulkan keinginan masyarakat Minangkabau untuk kembali menghidupkan lembaga ninik mamak dalam nagari.

Ditetapkannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah disikapi oleh Pemerintah Sumatra Barat dengan mencanangkan “Gerakan Kembali ke Nagari” yang diterapkan sejak tahun 2001. Oleh karena fungsi dan peranan ninik mamak telah banyak berubah selama diberlakukannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979, maka diperlukan usaha keras untuk mensosialisasikan kembali peran dan fungsi mamak terhadap masyarakat Minangkabau, terutama kepada generasi muda yang sebelumnya tidak pernah mengalami kehidupan dengan sistem pemerintahan nagari secara tradisional. Beberapa faktor telah menyebabkan terjadinya pergeseran-pergeseran nilai dalam masyarakat Minangkabau sehingga peran dan fungsi mamak sudah tidak begitu dirasakan lagi.

Secara tradisional, diferensiasi peran yang berlaku dalam keluarga luas menempatkan laki-laki di Minangkabau berperan sebagai pemimpin dalam keluarga luasnya (keluarga ibunya). Alokasi kekuasaan yang berlaku mengharuskan laki-laki mempunyai tanggung jawab untuk menjaga dan melindungi semua saudara perempuannya dan anak dari saudara-saudara perempuannya.

Alokasi ekonomi yang berlaku menurut pola ideal menempatkan mamak sebagai penjaga dan pemelihara harta pusaka yang merupakan sumber kehidupan semua anggota keluarga luas. Alokasi solidaritas yang berlaku menyebabkan seorang mamak menurut aturan adat lebih dipatuhi oleh seseorang daripada ayahnya sendiri. Alokasi integrasi dan ekspresi yang berlaku secara tradisional menyebabkan orang lebih bangga menjadi kemenakan seorang tokoh terkenal daripada menjadi anak tokoh tersebut.

Tugas mamak, sesuai dengan alokasi kekuasaan yang berlaku, terhadap kemenakan perempuannya terutama adalah mencarikan jodoh yang baik baginya. Seorang mamak akan merasa sangat malu apabila ada di antara kemenakan perempuannya yang sudah cukup umur belum juga menikah.

Mamak tersebut akan dikatakan sebagai orang yang tidak becus mengurus kemenakannya, sementara kemenakannya berserta keluarganya akan dijuluki sebagai keluarga yang tidak laku. Oleh karena itu, tugas laki-lakilah untuk mencarikan kemenakan perempuannya jodoh yang baik dan sepadan. Mamaklah yang berkewajiban untuk mendatangi laki-laki yang dianggap pantas sebagai jodoh kemenakannya dan menanyakan kesediaannya menikah dengan kemenakan perempuannya.

Setelah terjadi perkawinan antara kemenakan perempuan dengan laki-laki dari kaum lain, tanggung jawab mamak terhadap kemenakannya tersebut tidak beralih kepada suaminya. Alokasi ekonomi dalam keluarga luas tetap berada di tangan mamak dan kaum perempuan dalam keluarga luas. Mamak tetap berkewajiban menjaga kemenakannya yang telah menikah tersebut dan mencukupi kebutuhan materinya.

Tugas untuk mengatur pengeluaran rumahtangga berada pada tangan kaum perempuan dalam keluarga ibu. Oleh karena itulah maka perempuan dalam sebuah keluarga di Minangkabau disebut sebagai umban puruak (pemegang pundi-pundi). Sementara itu suami dari perempuan dalam satu kaum hanyalah merupakan pendatang dalam keluarga tersebut dan dilayani sebagaimana halnya seorang tamu. Suami tersebut disebut dengan urang sumando dalam keluarga si perempuan.

Perkawinan yang terjadi di Minangkabau tidaklah menciptakan keluarga inti yang lepas dari keluarga luas sebab suami dan istri masing-masingnya tetap menjadi anggota dari garis keturunan mereka masing-masing. Oleh karena itu, pengertian tentang kaluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anaknya sebagai satu unit tersendiri yang benar-benar lepas dari keluarga luas tidak terdapat dalam struktur sosial masyarakat Minangkabau secara tradisional. Dengan demikian, anak-anak hasil dari perkawinan merupakan anggota dari keluarga luas ibunya dan selalu lebih banyak melekatkan diri kepada sang ibu serta anggota-anggota lainnya dalam garis keturunan ibunya.

Sistem kekerabatan matrilineal yang dianut oleh orang Minangkabau saat ini pelaksanaannya telah mengalami perubahan-perubahan dalam masyarakat. Dalam hal keluarga dan fungsinya di Minangkabau, suatu perubahan telah terjadi sesuai dengan perkembangan zaman. Saat ini, dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, terlihat adanya gejala tata hubungan susunan kekeluargaan yang tidak lagi bermuara pada ibu sebagai titik sentral dalam keluarga inti, tetapi mulai beralih kepada ayah yang menjadi kepala keluarga.

Hal yang merisaukan dalam hubungan tatanan kekerabatan adat Minangkabau adalah implikasi dari kepedulian itu, sehingga banyak orang Minangkabau -terutama generasi muda- yang kurang peduli dengan nama sukunya. Bahkan banyak orang Minangkabau yang sudah tidak mengetahui lagi siapa anggota kerabatnya, siapa induak bako-nya, dan siapa anak pisang-nya. Banyak orang Minangkabau yang tidak lagi kenal dengan gelar kebesarannya, bahkan lupa dengan gelar yang diberikan kepadanya sewaktu perkawinannya (Latief, 2002).

Menguatnya peran ayah dalam keluarga di Minangkabau merupakan indikasi melemahnya penerapan sistem matrilineal menurut pola ideal. Kebijakan Pemerintah Daerah Sumatra Barat untuk menghidupkan kembali sistem pemerintahan nagari menurut pola ideal seperti saat sebelum diberlakukannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 perlu dikaji lebih lanjut. Peranan ninik mamak sebagai salah satu unsur pemimpin dalam kehidupan bernagari telah jauh bergeser. Mungkinkah peran mamak -sebagai ninik mamak- di Minangkabau masih bisa terwujud, sehingga tatanan kekerabatan keminangkabauan tetap terjaga?

Penulis : Doni Marlizon

0 comments:

Post a Comment