Dilematika Adat Minang

Jauh sebelum masa penjajahan, di Minangkabau telah ada suatu sistem yang mengatur kehidupan masyarakat. Sistem ini berjalan baik yang dapat menjamin keserasian dan keamanan masyarakat. Sistem yang disebut adat ini dipertahankan sampai kini. Orang Minang dikenal sangat teguh dengan adatnya, bahkan orang Minang telah menegaskan bahwa adat itu indak lapuak dek hujan, indak lakang dek paneh, adat dipakai baru, kain dipakai usang.


Adat dan budaya Minangkabau telah mengatur dasar-dasar kehidupan masyarakat. Lahirnya adagium adat basandi syarak, syarak basandikan Kitabullah, telah memperkokoh keterkaitan antara adat dan agama, adat tidak lagi sekedar untuk dunia, tetapi sekaligus untuk kemaslahatan di akhirat kelak, sebab sejak itu telah disatukan pendapat kaum adat dengan kaum agama (Islam), bahwa kebiasakan (lazim) dalam adat yang secara turun-temurun dan diterima oleh masyarakat akan dikuatkan dan sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh agama, lazim kato adat, qawi kato agamo.
Adat Minangkabau telah benar-benar mengatur tata kehidunpan masyarakat Minangkabau, tidak saja sekedar untuk kepentingan duniawi semata, tetapi sekaligus untuk kepentingan umat di akhir masa kelak.


Adat adalah sesuatu yang dinamis, sesuai dengan dinamika hidup itu sendiri. Namun tak dapat dipungkiri, ada semacam kegamangan diantara pencinta adat Minangkabau menghadapi globalisasi saat ini. Pertanyaan yang timbul mengingat perubahan yang terjadi secara global apakah adat Minangkabau itu akan mampu bertahan? Jika mampu, apakah adat itu akan tetap asli adanya atau adat itu menempatkan perubahan itu sebuah dinamisator dalam tata kehidupan, sedangkan perubahan itu adalah sesuatu yang alami. Yang abadi adalah perubahan itu sendiri. Jika benar adanya, di manakah kita tempatkan adat dan perubahan itu? Untuk itu perlu sumbang saran dari kita semua, orang minang.

Sumber : Solok saiyo sakato, Manajemen Suku

Bagaimana pendapat saudara...

0 comments:

Post a Comment